RSS

PUSAT AIRMATA

29 Mar

OLEH: NANIK ZULAIHAH

Hari ini aku menangisdi pinggir jalan. Untuk siapa aku tak tahu. Orang tuaku yang tinggal di desa terpencil dengan mata pencaharian sebagai penjahit pakaian pria, dalam keadaan sehat-sehat saja, walau hidupnya sangat sederhana. Adikku semata wayang dengan kecerdasan yang agak tertinggal masih menenpuh jenjang pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah, dalam keadaan sehat pula. Sedang kakak perempuanku terbuang oleh segala bentuk polusi Surabaya dan terasing dari pencarian sesuap nasi oleh pemerintah, kini menetap di Ambon dengan berbekal lembar demi lembar ilmu yang didapat dari universitas dengan lambang patung Gajah Mada itu.  Lalu untuk siapa lagi aku menangis hari ini di pinggir jalan Ketintang? Ah nasip, mungkin hanya itu jawabannya. Mungkin nasip menghendaki begitu, atau nasip merindukan aku untuk bersenandung dengan butiran-butiran mutiara bening ini.

Mendung suasana kota pagi ini.ku telusuri sepanjang jalan Ketintang, jetis, kembali Ketintang. Sementara aku melihat seekor burung berkelebat mengagetkan, seolah ia berkata dalam bahasa burung, “Sesuatu telah terjadi di luar dunia sini, Tuanku,” aku tercengang tanpa dapat berbuat banyak hal. Sebelum sempat aku bertanya balik, ia telah dengan sigap kembali lenyap, tertelan mendung yang tak lagi berwarna kelabu, tetapi hitam.

Rupanya aku memiliki kelelahan juga. Gubuk tuaku dengan hanya berisi tikar alas tidur dan selembar sajadah panjang yang hampir tak kukenali lagi warna asal dan bentuk gambarnya, telah mengantar aku kembali bernaung di sana. Melepas lelah, menunaikan sholat dengan khusuk, walaupun sampai seharian ini tak sebutir nasipun yang hinggap di rongga-rongga perutku. Tak seserat daging ikanpun yang sudi menyapa tulang-tulang dalam ususku yang semburat. Dan tak sehelai bayampun yang mengikhlaskan dirinya tercabik oleh pencernaan yang telah berabad lamanya menjadi penghuni setia lambung mungil ini. Hanya air yang selalu membasahi seluruh tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki renta. Hanya air, yang tak lagi dapat kubedakan antara air minum, air mandi dan airmata. Semua telah sama dalam pandangan biji mataku yang tinggal sebelah. Sama menyayat dan sama berwarna kelabu menyerupai hitam. Seperti juga air wudlu yang menyapa mulut, wajah, telinga, rambut, tangan dan kakiku, dan mengantarku berpaling dari kepentingan dunia untuk menoleh sekian saat kepada yang Agung. Memasrahkan diri pada sisa-sisa usia dalam kerapuhan isi hati.

Hanya sekian jam waktu panjang yang kuhabiskan untuk menyusun seperangkat doa kepada Sang Pencipta. Selebihnya aku gunakan beristirahat, tidur, mencari jawaban-jawaban dari pertanyaanku tentang hidup, menelusuri sisi-sisi kehidupan yang tak kutemukan dalam pandangan mata manusia, dan mendengar suara-suara dalam bahasa yang tak dimengerti orang awan seperti aku.

Seperti juga petang ini. Matahari meninggalkan jam tayangnya digantikan seberkas cahaya rembulan yang tersibak kabut tipis kebiruan. Serombongan kodok hijau berkicau dalam bahasa khasnya yang lebih mirip suara alat musik yang ditiup. Tak dapat aku membedakan, mereka bercengkrama, bercanda atau sekedar berbicara atau malah bertengkar. Sedangkan jangkrik senantiasa bernyanyi dengan irama datar yang kadang tenggelam. Musik malam, satu-satunya hiburan yang setia menemani kehidupan malamku di gubuk tua ini, sekian ratus hari yang lalu. Ku  coba pejamkan mata, serapat mungkin agar tak seekor viruspun yang mampir ke sana. Ku jaga keutuhan mataku sebagai suatu nikmat yang aku peroleh dari-Nya. Malam kian menjalar pada tangga-tangga ujung hari. Aku terlelap, pulas. Menjelang malam yang penghabisan aku bermimpi. Seekor burung hinggap di atas tungku pemanas dapur kecilku. Ia tersenyum menyapa, “Tuanku, maukah kau berjalan-jalan bersamaku pagi ini?” sapaan yang hampir mirip ajakan itu menggugah lamunan panjangku. Aku seperti mengenalnya. Tapi, di mana….

“Tuanku, maukah kau ikut denganku? Tak ada yang perlu dibingungkan, Tuanku. Aku burung kecil yang kemarin menyapamu saat kau telusuri jalan sepi itu. Tentu kau masih ingat kan? Ah, dia dapat membaca pikiranku. Dan aku masih saja bingung, jawaban apa yang harus aku berikan atas ajakan yang sempat terulang itu.

“Apa yang bisa kau hadirkan dengan tawaran itu, burung kecil? Aku tak pernah pergi jauh dari gubuk ini. Tak ada teman bicara, tak ada permainan macam-macam yang dapat memberikan kebahagiaan lain, selain naungan gubuk ini, rangkaian doaku pada-Nya, dan musik malamku yang indah.” Jawabku dengan pikiran yang masih menggantung akibat ajakannya.

Sejenak burung kecil berbulu putih menggemaskan itu diam, seolah berpikir tentang suatu jawaban.

“Begini  Semu, kau terlalu banyak menghabiskan waktumu di gubuk ini. Kau terlalu akrab dengan rel kereta dan nyanyian katak. Tengoklah ke sana, kau akan banyak temukan warna lain yang akan menambah koleksi warna airmatamu.” Jawab burung kecil setengah menjelaskan.

“Bagaimana aku bisa kesana, burung kecil? Aku tak punya apa-apa untuk melangkah. Aku tak punya logam ajaib yang mengantarku menjelajah dunia lain. Aku hanya punya tangan, kaki dan anggota tubuh yang tak banyak punya suara,” tekanku berusaha meyakinkannya.

“Sudahlah Semu. Ikutlah bersamaku, ku antar engkau menuju pusat airmata,” tanpa sempat kuberi jawaban, sang burung telah mencengkeram krah leher baju lusuhku. Dan aku mulai terbang.. terbang jauh melintas mega, menyapa matahari yang mulai tersenyum. Ah, aku seperti punya sayap. Dengan bulu putih kebiruan, halus dan menawan. Yach, aku seperti punya sayap. Tuhan, aku menjelma menjadi burung dengan sayap menakjubkan. Lalu, kemana burung kecil itu? Ia telah hilang entah kemana.. ah, sudahlah. Nasip membawaku begini, hanya itu suara hatiku. Kembali kupusatkan pikiranku untuk terus terbang..terbang dan terbang..

Kutuju sebuah perkambungan kumuh tempat aku menghabiskan masa kecilku yang penuh dengan genangan airmata. Aku hinggap di puncak menara sebuah langgar waqaf yang dipenuhi warna hijau. Dari sana aku dapat menyaksikan gerak-gerik penghuinya. Tapi, ah.. apa yang kulihat. Mereka berjalan menunduk, membungkuk-bungkuk dengen meneteskan banyak airmata. Apa yang mereka tangiskan, apa yang mereka alami?

Ku dengar suara adzan dari langgar tempatku hinggap. Aku mau sholat. Tapi, aku telah jadi burung, bagaimana aku bisa sholat bersama jamaah di sini? Kumasuki juga langgar itu, menatap orang-orang yang berjamaah di sana. Mereka berjalan dengan gerak lambat. Dan, meneteskan airmata. Kali ini warnanya bukan lagi kelabu, tapi putih bercampur sedikit darah. Aku resah, sebaiknya aku pergi saja.

Satu sisi hatiku mengajak berlabuh di pusat kota. Jalanan ramai oleh kendaraan yang berlayar amat lambat. Seiring deru masinnya yang menyuarakan tangisan menyayat. Telingaku seperti teriris olehnya. Seperti lepas dari asalnya di kepalaku. Aku semakin mendekat, dan orang-orangnya menunduk dengar airmata meleleh tanpa henti. Tak terasa akupun menangis terbawa suasana kota yang berkabut hitam. Para pejalan kaki meraung menghentakkan kakinya ke tanah. Seketika mengalir airmata darah yang akhirnya mereka minum saat itu juga. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku ingin pulang ke gubuk tuaku yang tertinggal sendiri di sana. Kutembus kabut demi kabut yang menghalangi pandanganku untuk pulang. Dalam waktu sekejap pula aku telah sampai padanya. Aku pulang.

Pagi mulai tersenyum padaku, tapi aku tak kuasa untuk membelasnya. Saat kubuka pintu gubuk tuaku, aku menangis. Surabaya telah tenggelam oleh airmata penghuninya. Kali ini warnanya benar-benar hitam. Seekor burung kecil hinggap dan menyapa,”Selamat tinggal,” aku diam dan menangis. (1996)

 

 

 

 

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 29, 2012 inci Uncategorized

 

Tinggalkan komentar